Jumat, 23 Juli 2010

Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal

Antara tumbuh-tumbuhan di pihak yang lain dengan manusia dan binatang di pihak yang lain membentuk sistem yang dalam ungkapan bidal Melayu lama berbunyi: Seperti aur dengan tebing, atau dalam ungkapan modern yang canggih bunyinya: Mutualis simbiosis, suatu ekosistem saling menghidupi dan menghidupkan. Aur yang tumbuh di tebing mendapat zat-zat yang dibutuhkan tanaman untuk bertumbuh. Akar-akar aur menusuk ke dalam tanah di tebing untuk dapat mengisap zat-zat yang dibutuhkannya itu. Di pihak yang lain tebing mendapatkan manfaat dari akar-akar rumpun aur, tebing menjadi kuat, tidak mudah terban (tidak pakai g).

Untuk dapat hidup, manusia dan binatang harus mengisi perut, makan dan minum dan mengisap udara, bernafas. Tujuan makan bukan untuk kenyang, karena itu hanya sekadar kesan saja, melainkan makan pada hakekatnya adalah mengisi tubuh dengan bahan bakar. Dan bernafas bukan hanya sekadar menghirup udara segar supaya tidak mati lemas, melainkan mengisi tubuh dengan oksigen dari udara. Di dalam tubuh manusia dan binatang terjadilah reaksi kimia yang disebut oksidasi. Reaksi kimia ini menimbulkan panas dan proses tersebut disebut respirasi. Demikianlah tubuh manusia dan binatang menjadi panas, dan panas ini dipertahankan suhunya oleh suatu sistem yang musykil dalam tubuh manusia dan binatang, yaitu sistem pengatur suhu. Menarik nafas artinya memasukkan oksigen ke dalam tubuh, sedangkan mengeluarkan nafas artinya membuang sampah hasil pembakaran ke udara. Sebenarnya yang dibuang ke udara itu pada hakekatnya hanya sejenis yang berupa sampah dan yang lain tidak dipandang sampah. Yang epertama adalah karbon dioksida, zat asam arang, CO2. Yang kedua adalah air dalam bentuk uap. Air yang berasal dari menegeluarkan nafas ini dapat dilihat jika kita ada di tempat dingin. Uap air itu mengembun di udara berupa titik-titik air yang halus, kelihatannya seperti asap putih atau kabut.

CO2 ayang dihasilkan/dikeluarkan dari tubuh manusia dan binatang merupakan polutan, zat pencemar yang mencemarkan udara. Pencemaran udara oleh CO2 ini bukan semata-mata dari manusia dan binatang saja, melainkan, dan ini yang lebih banyak, berasal dari budak-budak tenaga, energy slaves. Tidaklah berperi-kemanusiaan, jika manusia memperbudak sesamanya manusia. Akan tetapi oleh karena pada dasarnya manusia suka memperbudak, maka manusia memperbudak binatang, tenaga otot binatang dimanfaatkan untuk bekerja. Setelah James Watt mendapatkan mesin uap, maka manusia memproduksi budak-budak tenaga secara massal, yaitu mesin-mesin yang dayanya lebih besar dari daya otot binatang. Dan mesin-mesin ini menghasilkan CO2 jauh lebih banyak ketimbang CO2 yang berasal dari manusia dan binatang. Sehingga sangat perlu sekali dilaksanakan birth control terhadap budak-budak tenaga ini. Mengapa? Oleh karena CO2 ini adalah zat pencemar yang menyebabkan terjadinya pencemaran thermal, thermal pollution. Bumi jadi panas, suhunya naik, es di kutub utara dan selatan mencair, air laut naik, maka terjadilah banjir yang akan lebih hebat dari banjir di zaman Nabi Nuh AS. Dan naiknya permukaan laut ini bukan teori omong kosong, betul-betul naik menurut hasil intizhar atau observasi.

Mengapa CO2 itu menjadi penyebab pencemaran thermal, informasinya seperti berikut: Lapisan udara yang mengandung CO2 yang banyak, menyebabkan permukaan bumi ditutupi oleh lapisan CO2. Ini menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Di tempat yang beriklim dingin, jika ingin menanam buah-buahan dan sayur-sauran yang membutuhkan suhu yang lebih tinggi dari suhu udara luar, maka buah-buahan dan sayur-sayuran itu ditanam di dalam rumah kaca. Gelas atau kaca adalah zat bening, radiasi matahari gampang menerobos masuk. Radiasi matahari yang disebut photon itu memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Getaran molekul udara itu dipacu oleh photon itu, maka bertambah intensiflah getaran molekul udara itu, yang membawa kesan fenomena naiknya suhu udara, karena itulah udara bertambah panas. Kaca adalah penghantar panas yang jelek. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Photon mudah menerobos masuk, namun setelah tenaga radiasi itu sudah ditransfer menjadi tenaga panas dalam rumah kaca, gelombang panas tidak/kurang mampu menerobos keluar. Inilah efek rumah kaca. Juga CO2 adalah zat bening mudah ditembus photon matahari. Juga CO2 adalah zat pengantar panas yang jelek. Maka terperangkaplah gelombang panas dalam ruang antara lapisan CO2 dengan permukaan bumi, seperti halnya gelombang panas dalam rumah kaca.

Demikianlah seterusnya gejala alam berupa naiknya suhu di permukaan bumi ini, atau globalisasi thermal ini, maka Allah SWT memberikan informasi kepada ummat manusia sejak lebih 14 abad yang lalu. Berfirman Allah SWT dalam Al Quran, S. Yasin, ayat 80 sebagai berikut: Alladzie ja'alalakum minasysyajari-lakhdhari naaran faidzaa antum minu tuuqiduun. artinya: Yaitu Yang menjadikan bagimu api dalam (zat) hijau pohon dan dengan itu kamu dapat membakar. Sepintas lalu secara common sence, kita menjumpai pertentangan antara akal dengan wahyu. Akal kita mengatakan, bahwa api itu atau yang dibakar itu bukan dari pohon yang hijau, melainkan dari kayu-kayuan dan daun-daunan yang kering berwarna coklat. Ada kitab tafsir yang mencoba menjelaskan bahwa ada sejenis pohon yang dapat dijadikan kayu bakar, walaupun masih hijau. Tetapi akal kita mengatakan bahwa menurut qaidah bahasa Arab, bentuk mudzakkar (laki-laki) asysyjaru-lakhdhar dalam ayat di atas menunjuk kepada pohon secara keseluruhan, bukan hanya sekadar sejenis pohon. Kalaulah yang dimaksud hanya sejenis, atau sebahagian pohon, maka harus memakai bentuk muannats (perempuan), yaitu asysyaratu-lkhadhraau. Jadi penafsiran dalam kitab tafsir tersebut tidak/belum dapat memecahkan permasalahan adanya pertentangan antara akal dengan wahyu.

Kalau terjadi pertentangan antara akal dengan wahyu, maka akal harus mengalah. Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, akal membutuhkan informasi untuk berpikir. Akal harus mengalah kepada wahyu, oleh karena dalam keadaan yang demikian itu adalah suatu isyarat bahwa akal membutuhkan informasi yang lebih canggih untuk dapat merujuk akal itu kepada wahyu. Dan informasi ini bersumber dari ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan. Reaksi thermonuklir di matahari mentransfer wujud tenaga nuklir menjadi tenaga radiasi yang berwujud sinar gamma yang menembus ke lapisan bagian luar dari matahari. Sinar gamma itu mengalami penyusutan energi karena menembus lapisan matahari itu. Setelah sampai di bagian luar sinar yang telah berdegradasi energinya itu dikenal sebagai photon, lalu memancar ke sekeliling matahari, antara lain menyiram permukaan bumi.

Tumbuh-tumbuhan dibangun oleh bahagian-bahagian kecil yang disebut sel. Di dalam inti sel terdapat butir-butir pembawa zat warna. Yang terpenting di antara butir-butir itu adalah pembawa zat warna hijau, yang disebut khlorophyl, zat hijau daun (istilah ilmiyah dari bahasa Yunani, Kholoros = hijau, Phyllon = daun). Khlorophyl ini menangkap photon dari matahari dan mengubah wujud tenaga photon itu menjadi tenaga potensial kimiawi dalam makanan dan bahan bakar hidrokarbon di dalam molekul-molekul melalui proses photosynthesis. Dalam proses photosynthesis oleh khlorophyl ini dari bahan baku CO2 dan air dan photon dihasilkan makanan dan bahan bakar hidrokarbon dan oksigen. Selanjutnya melalui proses respirasi dalam tubuh manusia dan binatang dan budak-budak tenaga, makanan dan bahan bakar itu dengan oksigen dari udara berubahlah pula menjadi CO2 dan air. Demikianlah seterusnya daur atau siklus itu berlangsung. Photosynthesis - CO2 dan air - respirasi - makanan, bahan bakar, dan oksigen. Jadi tumbuh-tumbuhan mengambil CO2 dan mengeluarkan oksigen. Sebaliknya manusia dan binatang mengambil oksigen dan mengeluarkan CO2.

Secara gampangnya asysyajaru-lakhdhar itu adalah pabrik makanan / bahan bakar dan oksigen. Bahan mentahnya adalah air dan CO2. Mesin pabrik adalah photon dan proses dalam pabrik yang mengolah air dan CO2 menjadi makanan / bahan bakar dan oksigen disebut proses photosynthesis. Makanan dibakar dengan oksigen dalam tubuh manusia, oksigen dihisap dari udara, demikian pula bahan bakar dibakar dengan oksigen dalam mesin-mesin pabrik. Oksigen disedot dari udara. Itulah ma'na minasysyajari-lakhdhari naaran faidzaa antum minhu tuuqiduun. Demikianlah ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan membantu kita untuk dapat memahami S. Yasin, ayat 80 dengan baik, memberikan informasi yang cukup bagi akal kita, sehingga menghilangkan pertentangan antara akal dengan wahyu.

Alhasil, jika informasi itu cukup lengkap bagi akal, akan hilanglah pertentangan antara akal dengan wahyu. Pemakaian istilah asysyjaru-lakhdhar, zat hijau pohon dalam Al Quran lebih tepat dari istilah ilmiyah khlorophyl, zat hijau daun, oleh karena zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja, melainkan pada seluruh bagian pohon asal masih berwarna hijau, mulai akar yang tersembul asal masih hijau, dari batang asal masih hijau, cabang asal masih hijau, ranting, daun, sampai ke pucuk serta buah yang masih hijau.

Dari S. Yasin, ayat 80 itu, dengan penjelasan berupa informasi dari ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan sebagai ilmu bantu untuk dapat mengerti wahyu dengan baik dan jelas, dapatlah kita lihat bagaimana pentingnya hutan. Bukan hanya sekadar mengendalikan air di dalam tanah dan permukaan bumi, tidak banjir di musim hujan dan tidak kering di musim kemarau. Akan tetapi, dan ini yang lebih penting, adalah untuk terjadinya daur: tumbuh-tumbuhan penghasil oksigen, yang membutuhkan CO2 - manusia dan binatang penghasil CO2, yang membutuhkan oksigen. Maka terjadilah seperti yang diungkapkan oleh bidal Malatyu lama: seperti aur dengan tebing, mutualis simbiosis.

Demikianlah uraian interaksi iman dan ilmu dalam ruang lingkup daur CO2 dan oksigen dalam pengetahuan lingkungan khusus globalisasi pencemaran thermal dan pentingnya hutan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 3 November 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")

Konfigurasi Wahyu, Akal dan Naluri; Ruang Lingkup Syariat

Orang dapat menjalankan agama dengan baik, jikalau memahami ajaran agama itu dengan baik. Supaya dapat memahami ajaran agama dengan baik, haruslah pula dapat memahami wahyu dengan baik. Untuk dapat memahami wahyu dengan baik haruslah pula dapat memahami informasi-informasi yang relevan dengan wahyu, seperti Hadis Nabi, baik sabda mapun sunnahnya, dan ilmu-ilmu bantu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, baik itu ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu non eksakta. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal. Walhasil akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu.

Akallah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Pada binatang tidak ada kekuatan lain dalam dirinya di atas nalurinya, sedangkan pada manusia ada akal di atas nalurinya. Akal manusia tidak mampu membunuh naluri, namun akal mampu menundukkan, mengarahkan dan mengendalikan nalurinya itu. Sungguhpun manusia itu diciptakan Allah dengan sebaik-baik kejadian, karena diberi perlengkapan akal, akan tetapi kalau akalnya tidak dapat mengendalikan nalurinya, maka akan jatuhlah ia ke tempat yang serendah-rendahnya, lebih rendah dari binatang. Konfigurasi Jibril, Rasulullah dan buraq pada waktu Isra, Jibril yang menuntun Rasulullah yang mengendarai buraq, adalah suatu ibarat yang sangat relevan bagi konfigurasi antara wahyu, akal dengan naluri, yaitu wahyu menuntun akal dan akal mengendalikan naluri.

Karena manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, maka manusia di dorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas dirinya. Manusia adalah makhluk pribadi. Syariat Islam mengatur tatacara peribadatan yang 'ubudiyyaat (mufrad, singular: 'ubudiyyah) untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyyaat ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyyaat inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan oleh Nash (Al Qur'an dan Hadits Shahih), mengenai cara, waktu dan jumlah, bahkan ada yang mengenai tempat (ibadah Haji). Peribadatan yang 'ubudiyyaat ini dalam istilah populernya ialah ibadah yang ritual. Shalat Maghrib misalnya sudah ditetapkan tiga rakaat. Akal tidak boleh berpikir demikian: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi kebebasannya. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, berapa dan di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, misalnya pertanyaan seperti berikut: Mengapa puasa wajib diperintahkan dalam bulan Ramadhan?

Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia. Manusia adalah makhluk bermasyarakat.

Syariat Islam juga mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amalaat (mufrad: mu'amalah) untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat. (Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas pengertiannya dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Seperti misalnya membuang beling dari jalanan itu adalah ibadah yang mu'amalah, jika diniatkan ikhlas karena Allah, bukan karena penampilan, berbuat baik kepada sesama manusia supaya mereka yang tidak bersepatu terhindar dari bencana luka akibat menginjaknya. Peribadatan yang muamalaat ini adalah Syariat yang tidak ketat, sifatnya terbuka: semua boleh, kecuali yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Dalam istilah populernya 'ibadah yang mu'amalaat disebut 'ibadah yang non-ritual, yaitu cara, waktu, jumlah dan tempat tidak ditentukan oleh Nash.

Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di masjid. Kalau pemakaian bedug itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub sistem dari peribadatan ubudiyyaat yang ketat. Jadi tidak boleh, karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan tetapi jika pemukulan bedug itu diniatkan hanya sebagai sarana untuk interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang dilarang dan tidak bertentangan dengan Nash. Nabi hanya pernah melarang pemakaian lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah dilarang, jadi bedug boleh dipakai.*) Karena Syari'at yang mu'amalaat ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu penggunaannya dibatasi oleh aturan-aturan pokok Syari'at Islam yang muamalaat. Dalam Syariat yang mu'amalaat ini akal lebih bebas, yaitu boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa, apa hikmahnya, sepanjang masalah itu terletak di luar ruang lingkup aturan-aturan pokok Syari'at. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 27 Oktober 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

*) Dalam hal ini kami (Webmaster) tidak sependapat dengan Penulis (H. Muh. Nur Abdurrahman). Bagaimanapun juga, penggunaan bedug tidak bisa dipisahkan dengan masjid dan adzan (panggilan shalat) yang keduanya bersifat 'ubudiyyah. Oleh karena itu, mau tidak mau, diniatkan ataupun tidak - ia telah memasuki wilayah 'ubudiyyah. Memilah suatu amaliyah apakah termasuk adat ataukah ibadat tidak cukup dari segi niat saja melainkan harus dilihat pula dari lahiriahnya (bentuk dan caranya). Syariat sudah mengatur tata cara memanggil manusia untuk shalat dengan adzan. Bila kita menambahkan dengan penggunaan bedug (baik sebelum maupun sesudah adzan) berarti kita menambah suatu cara baru dalam memanggil manusia untuk shalat yang tidak diperintahkan. Inilah yang disebut bid'ah. Dan bid'ah ini memang banyak yang berasal dari 'adat yang memasuki wilayah 'ibadat. Bagaimana halnya dengan pengeras suara atau loudspeaker? Loudspeaker bukan sebagai suatu bentuk lain dari tata cara memanggil manusia untuk shalat. Malah ia mempertegas dan memperjelas fungsi adzan sebagai panggilan shalat yang disyariatkan dalam Islam. Kenyataan menunjukkan bahwa diantara masjid-masjid yang masih mempertahankan penggunaan bedug itu sebenarnya sudah dilengkapi dengan loudspeaker. Jadi apa sebenarnya maksud mereka menggunakan bedug? Tidak lain sekedar tradisi (adat). Tradisi yang salah penempatan karena memasuki wilayah ibadah sehingga disebut bid'ah. Wallahu a'lam.

KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")

Peranan Wahyu dan Akal dalam Kehidupan

Makhluk ciptaan Allah SWT di alam syahadah ini, seperti apa yang dapat kita amati, dapat digolongkan dalam jenis-jenis: batu-batuan/mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Allah SWT sebagai ArRabb mengatur alam syahadah dengan hukum-hukumNya untuk mengendalikan berjenis-jenis ciptaanNya itu. Allah sebagai ArRabb (Maha Pengatur) mengendalikan alam semesta dengan hukum-hukumNya yang hingga kini baru dikenal oleh manusia sebagai: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah.

Medan gravitasi utamanya mengontrol makrokosmos, mengendalikan bintang-bintang. Ketiga jenis yang lain mengontrol mikrokosmos. Medan elektromagnet mengontrol pasangan proton (bermuatan +) dengan elektron (bermuatan -). Proton-proton dalam inti atom yang saling tolak karena bermuatan sama, "direkat" oleh gaya kuat. Sedangkan gaya lemah menyebabkan inti atom seperti misalnya Thorium dan Uranium tidak stabil menjadi "lapuk" terbelah dengan mengeluarkan sinar radioaktif, sehingga Thorium dan Uranium disebut pula zat radioaktif.

Di samping ke-4 jenis itu hukum Allah mengendalikan pula tumbuh-tumbuhan dengan kekuatan bertumbuh dan berkembang biak; kekuatan bertumbuh itu dapat melawan kekuatan gravitasi yaitu bertumbuh ke atas melawan tarikan gravitasi ke bawah. Adapun pada binatang ditambah pula lagi dengan kekuatan naluri dengan perlengkapan pancaindera. Dengan kekuatan naluri dan perlengkapan pancaindera itu binatang dapat bergerak ke mana saja menurut kemauannya atas dorongan nalurinya.

***

Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4), sebaik-baik kejadian.

Kemampuan akal untuk berpikir dan merasa bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya untuk berpikir dan merasa, ia perlu mendapatkan informasi dan pengalaman hidup. Mutu hasil pemikiran dan renungan akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya dan dialaminya. Ilmu eksakta, non-eksakta, ilmu filsafat adalah hasil olah akal dengan mekanisme otak. Kesenian dan ilmu tasawuf adalah hasil olah akal dengan qalbu sebagai mekanisme.

Hasil pemikiran dan renungan anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya dan pengalaman yang dialaminya. Jadi kemampuan akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan mekanisme otak dan qalbunya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan ragam informasi yang diperolehnya dan dialaminya. Dengan demikian akan relatif juga, baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk merenung baik buruknya sesuatu.

Oleh karena akal manusia itu terbatas, Allah Yang Maha Pengatur (ArRabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Rasul yang kemudian disebar luaskan kepada manusia. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir. Setelah beliau, Allah tidak lagi menurunkan wahyu. Dalam shalat kita minta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustqiym (1:6), tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim. Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn (s. alBaqarah, 1-2), inilah kitab tak ada keraguan dalamnya penuntun bagi Muttaqiyn (s. Sapi betina, 2:1-2). Al Quran yang tak ada keraguan dalamnya memberikan informasi kepada manusia tentang perkara-perkara yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya: 'Allama lInsa-na Ma-lam Ya'lam (s. al'Alaq, 5), (Allah) mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.

Kebenaran mutlak (Al Haqq) tidak mungkin dapat dicapai oleh manusia dengan kekuatan akalnya. Kebenaran mutlak tidak mungkin diperoleh dengan upaya pemikiran mekanisme otak yang berwujud filsafat. Juga kebenaran mutlak tidak dapat dicapai manusia dengan upaya renungan mekanisme qalbu dalam wujud tasawuf. Al Haqq tidak dapat dicapai melalui filsafat ataupun tasawuf. Al Haqqu min rabbikum (s. alKahf, 29), artinya Al Haqq itu dari Rabb kamu (s. Gua 18:29). Alam ghaib juga tidak mungkin diketahui manusia dengan kekuatan akalnya. Filsafat dan tasawuf tidak mungkin dapat menyentuh alam ghaib.

Demikianlah tolok ukur produk pemikiran dan renungan yang berupa filsafat dan tasawuf itu adalah: "Dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan lilMuttaqiyn". Filsafat dan tasawuf harus dibingkai oleh Al Quran dan Hadits shahih, sebab kalau tidak demikian, maka filsafat dan tasawuf itu menjadi liar. Sungguh-sungguh suatu keniscayaan, para penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu menjadi sesat. Terjadilah fenomena yang naif, lucu, tetapi mengibakan, yaitu antara lain filosof itu berimajinasi tentang pantheisme, sufi itu ber"kasyaf" terbuka hijab, merasa bersatu dengan Allah. Adapun indikator penganut dan pengamal filsafat dan tasawuf tanpa kendali itu, adalah upaya yang sia-sia untuk mempersatukan segala agama. Inilah yang selalu kita mohonkan kepada Allah SAW setiap shalat, agar tidak terperosok ke dalam golongan "Dha-lluwn", kaum sesat.

Hudan lilMuttaqiyn", demikianlah wahyu itu menuntun akal para Muttaqiyn untuk berolah akal, yaitu berpikir/berfilsafat dan merasa/bertasawuf. Akal harus ditempatkan di bawah wahyu dan ilmu filsafat serta ilmu tasawuf harus ditempatkan di bawah iman, singkatnya wahyu di atas akal dan iman di atas ilmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 Oktober 1991 [H.Muh.Nur Abdurrahman]

KUMPULAN TULISAN H.M. NUR ABDURRAHMAN
(Dari Kolom Tetap Harian FAJAR bertajuk "Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu")